Memilih
Berjuang Maju atau Mundur
Sungguh, tiada yang mampu mengerti persoalan
ini. Ya, itu menurut Zian sahabatku. Antara dia harus melanjutkan kuliah,
menjalankan apa yang sudah ada tetapi kenyataan tak selaras dengan hati atau
dia berhenti dan membangun mimpi lagi yang pernah gagal. Semenjak persoalan
ini, dia mulai menjadi sosok pendiam karena sering memikirkan banyak persoalan
hidup yang tak kunjung usai.
Aku sering menasehatinya agar selalu bersyukur
dan berserah diri untuk mendapatkan rasa kedamaian, tetapi tidak semudah itu
prosesnya. Awalnya banyak pertentangan antara hati dan logikanya. Semakin lama Zian
menjadi orang yang arogan dan emosional karena hati dan keinginan bertentangan,
dia selalu ingin dimengerti, didengarkan oleh orang lain dan tidak takut pada
siapapun walaupun orang itu lebih tua.
Hari Rabu malam aku dan Zian bertemu untuk
makan malam bersama. Dia bercerita banyak hal tentang permasalahan yang sedang
dialaminya. Aku hanya berkata "Sudahlah, jangan beranggapan kegagalan menjadi
alasan kenapa kamu jadi gini, ini bukan kamu yang dulu aku kenal, aku merasa
asing dengan kamu yang seperti ini”. Aku hanya bisa menguatkan, memang dia
pernah gagal. Tetapi aku tidak peduli dengan kegagalan itu.
Keesokan harinya dering telfonku berbunyi keras
sekali, aku gugup dan langsung mengambil handphoneku.
“hallo”
“iya,
ada apa pagi-pagi begini telfon ?”
“aku
dibawah, kamu turun yaa”
“turun,
ada apa ? ini masih pagi lho”
“udah,
buruan turun. Aku udah nunggu kamu lama ngga ada yang bukain pintu”
“ngga
usah bikin acara April Mop deh”
“buruan
turun”
“iya”
dengan nada malas.
Kemudian aku turun kebawah untuk
membuka pintu rumah dan menemui Zian ternyata dia sudah berpakaian rapi dan
membawa tas ransel. Seketika aku terdiam, tidak tau harus berkata apa. Ternyata
dia hanya ingin berpamitan, bukan untuk pergi kuliah melainkan pergi ke stasiun
untuk pulang kerumah. Akhirnya Zian bolos kuliah lagi, mungkin dia pulang
kerumah untuk mendamaikan hati. Memang sudah dua bulan dia tidak pulang ke
rumah.
Atau
mungkin dia rindu dengan kota kelahirannya.
Aku hanya bisa menunggu. Berharap
dia kembali dengan mimpinya yang baru, bukan mimpi lama yang tumbuh untuk
dipupuk lagi. Aku rasa harapannya yang dulu hanya sebuah ambisi, bukan
cita-cita yang memang ingin diwujudkan olehnya. Memang ctita-citanya mulia, tetapi
aku kurang setuju jika dia memilih profesi itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar