Jumat, 30 Juni 2017

Memilih Berjuang Maju atau Mundur

                                    Memilih Berjuang Maju atau Mundur

Sungguh, tiada yang mampu mengerti persoalan ini. Ya, itu menurut Zian sahabatku. Antara dia harus melanjutkan kuliah, menjalankan apa yang sudah ada tetapi kenyataan tak selaras dengan hati atau dia berhenti dan membangun mimpi lagi yang pernah gagal. Semenjak persoalan ini, dia mulai menjadi sosok pendiam karena sering memikirkan banyak persoalan hidup yang tak kunjung usai.
Aku sering menasehatinya agar selalu bersyukur dan berserah diri untuk mendapatkan rasa kedamaian, tetapi tidak semudah itu prosesnya. Awalnya banyak pertentangan antara hati dan logikanya. Semakin lama Zian menjadi orang yang arogan dan emosional karena hati dan keinginan bertentangan, dia selalu ingin dimengerti, didengarkan oleh orang lain dan tidak takut pada siapapun walaupun orang itu lebih tua.
Hari Rabu malam aku dan Zian bertemu untuk makan malam bersama. Dia bercerita banyak hal tentang permasalahan yang sedang dialaminya. Aku hanya berkata "Sudahlah, jangan beranggapan kegagalan menjadi alasan kenapa kamu jadi gini, ini bukan kamu yang dulu aku kenal, aku merasa asing dengan kamu yang seperti ini”. Aku hanya bisa menguatkan, memang dia pernah gagal. Tetapi aku tidak peduli dengan kegagalan itu.
Keesokan harinya dering telfonku berbunyi keras sekali, aku gugup dan langsung mengambil handphoneku.
“hallo”
“iya, ada apa pagi-pagi begini telfon ?”
“aku dibawah, kamu turun yaa”
“turun, ada apa ? ini masih pagi lho”
“udah, buruan turun. Aku udah nunggu kamu lama ngga ada yang bukain pintu”
“ngga usah bikin acara April Mop deh”
“buruan turun”
“iya” dengan nada malas.
            Kemudian aku turun kebawah untuk membuka pintu rumah dan menemui Zian ternyata dia sudah berpakaian rapi dan membawa tas ransel. Seketika aku terdiam, tidak tau harus berkata apa. Ternyata dia hanya ingin berpamitan, bukan untuk pergi kuliah melainkan pergi ke stasiun untuk pulang kerumah. Akhirnya Zian bolos kuliah lagi, mungkin dia pulang kerumah untuk mendamaikan hati. Memang sudah dua bulan dia tidak pulang ke rumah.  
Atau mungkin dia rindu dengan kota kelahirannya.
            Aku hanya bisa menunggu. Berharap dia kembali dengan mimpinya yang baru, bukan mimpi lama yang tumbuh untuk dipupuk lagi. Aku rasa harapannya yang dulu hanya sebuah ambisi, bukan cita-cita yang memang ingin diwujudkan olehnya. Memang ctita-citanya mulia, tetapi aku kurang setuju jika dia memilih profesi itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar